MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
TENTANG
OTORITAS
JASA KEUANGAN (OJK) DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
O
L
E
H
HIZRA ISFIO RITA
(
1630401083
)
http://hizraiainbatusangkar.blogspot.co.id/
DOSEN PEMBIMBING :
1. Dr.
H. Syukri Iska, M. Ag.
2. Ifelda
Nengsih, SEI., MA.
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 3B
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Latar belakang pembentukan OJK dikarenakan perlunya suatu
lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai pengawas yang mempunyai
otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, dimana lembaga pengawas tersebut
bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank maupun
lembaga keuangan non bank, sehingga tidak ada lagi lempar tanggung jawab
terhadap pengawasannya.
Untuk melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain,
kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang
terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta
asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi
derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentuan institusi bank yang masuk
kategori systemically important bank dan data lain yang dikecualikan dari
ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Otoritas Jasa Keuangan menginformasikan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya
penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas
dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. OJK, Bank
Indonesia, dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi
secara terintegrasi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu OJK dan LPS?
2. Jelaskan
apa saja tugas dan wewenang OJK?
3.
Jelaskan bagaimana mekanisme kerja OJK
dan LPS?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
OJK dan LPS
1.
Pengertian OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
OJK merupakan
salah satu fungsi dari manajemen yakni melakukan pengawasan selain dari
perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Pengawasan tersebut harus dilakukan
oleh setiap perusahaan agar manajemen perusahaan tersebut berjalan dengan
benar. Pengawasan dilakukan terhadap sumber daya manusia (SDM), sistem yang
dijalankan, proses, output, serta sarana dan prasarananya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang OJK.[1]
2.
Pengertian LPS (Lembaga Penjamin
Simpanan)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
adalah Lembaga yang independen,
transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai lembaga yang menjamin simpanan
nasabah, LPS sangat berkepentingan
terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat.
Untuk menjaga tingkat kesehatan bank secara individual (micro prudential)
maupun secara agregat (macro
prudential) diperlukan
pengawasan perbankan yang efektif. Keberadaan LPS dalam sistem
perbankan di Indonesia ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang
RI Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
(UU LPS).[2]
LPS bertanggung jawab kepada presiden dan dalam
kegiatannya merupakan lembaga independen, transparan, dan akun tabel dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Independensi LPS mengandung arti
bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa
diintervensi oleh pihak manapun termasuk pemerintah kecuali atas hal-hal yang
dinyatakan secara jelas dalam di dalam undang-undang LPS.[3]
B.
Visi dan Misi OJK
1.
Visi
Menjadi lembaga pengawas industri
jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat,
dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional
yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.
2.
Misi
a.
Mewujudkan
terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur,
adil, transparan, dan akuntabel;
b.
Mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c.
Melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat.[4]
C.
Tugas
dan Wewenang OJK
Tugas dan
wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebagai berikut:
1. TUGAS
a. Tugas
Pengaturan
1) Menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang OJK
2) Peraturan
perundang-undangan disektor jasa keuangan
3) Peraturan
dan keputusan OJK
4) Peraturan
mengenai pengawasan disektor jasa keuangan
5) Kebijakan
mengenai pelaksanaan tugas OJK
6) Peraturan
mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga jasa keuangan
dan pihak tertentu
7) Peraturan
mengenai tata cara pengelola statuler
8) Struktur
organisasi dan infrastruktur
9) Serta
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi.
b. Tugas
Pengawasan
1) Menetapkan
kebijakan operasional pengawasan
2) Melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan, konsumen, dan tindakan lain
terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku dan atau penunjang jasa keuangan
3) Penunjukan
dan pengelolaan penggunaan statuler
4) Memberikan
perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan atau pihak lain
5)
Menetapkan sanksi administratif terhadap
pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan disektor jasa keuangan,
termasuk kewenangan perizinan kepada lembaga jasa keuangan.[5]
Sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No 21 tahun 2011 pasal
6 bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
2.
WEWENANG
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan disektor
Perbankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan bank yang meliputi:
1) Perizinan untuk pendirian bank,
pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan
dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta
pencabutan izin usaha bank; dan
2) Kegiatan usaha bank, antara lain
sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai
kesehatan bank yang meliputi:
1) Likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2) Laporan bank yang terkait dengan
kesehatan dan kinerja bank;
3) Sistem informasi debitur;
4) Pengujian kredit (credit testing);
dan
5) Standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai
aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1) Manajemen risiko;
2) Tata kelola bank;
3) Prinsip mengenal nasabah dan anti
pencucian uang; dan
4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan
kejahatan perbankan; dan
d.
Pemeriksaan
bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK
mempunyai wewenang, sebagai berikut:
a. Menetapkan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang ini;
b. Menetapkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. Menetapkan peraturan dan keputusan
OJK;
d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan
di sektor jasa keuangan;
e. Menetapkan kebijakan mengenai
pelaksanaan tugas OJK;
f. Menetapkan peraturan mengenai tata
cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak
tertentu;
g. Menetapkan peraturan mengenai tata
cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h. Menetapkan struktur organisasi dan
infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan
kewajiban; dan
i.
Menetapkan
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. Menetapkan kebijakan operasional
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas
pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan,
penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa
Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. Memberikan perintah tertulis kepada
Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. Melakukan penunjukan pengelola
statuter;
f. Menetapkan penggunaan pengelola
statuter;
g. Menetapkan sanksi administratif
terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut:
1) Izin usaha;
2) Izin orang perseorangan;
3) Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4) Surat tanda terdaftar;
5) Persetujuan melakukan kegiatan
usaha;
6) Pengesahan;
7) Persetujuan atau penetapan
pembubaran; dan
8) Penetapan lain, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[6]
D.
Nilai-Nilai Strategis OJK
1.
Integritas
adalah bertindak objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik dan
kebijakan organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen.
2.
Profesionalisme
adalah bekerja dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kompetensi yang tinggi
untuk mencapai kinerja terbaik.
3.
Sinergi
adalah berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun
eksternal secara produktif dan berkualitas.
4.
Inklusif
adalah terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan serta memperluas
kesempatan dan akses masyarakat terhadap industri keuangan.
5.
Visioner
adalah memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat kedepan (Forward Looking)
serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of The Box Thingking).
E.
Tujuan OJK
OJK
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
:
1.
Terselenggara
secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
2.
Mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
3.
Mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.[7]
F.
Fungsi OJK
Sebagaimana
yang ditetapkan dalam UU No. 21 Tahun 2011 pasal 5 bahwa OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[8]
G.
Mekanisme
Kerja OJK dan LPS
1.
MEKANISME KERJA OJK
OJK harus
senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a. Memberikan
informasi keuangan kepada BI dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing,
agar penyelenggaraan fungsinya berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap
dan up to date yang diperoleh melalui
akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
b. OJK
wajib bertukar informasi dengan BI dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
c. OJK
selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan bank, wajib memelihara kerjasama
yang baik dengan BI.
d. Secara
berkala, OJK menyampaikan laporan ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan
kesehatan dari individual bank.
e. Untuk
mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap perekonomian nasional
yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu mekanisme yang menciptakan
kerjasama antara OJK, BI, LPS, dan Departement Keuangan.[9]
2.
MEKANISME KERJA LPS
Berdasarkan
pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah meliputi penjaminan
bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah.
LPS berfungsi
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri
Keuangan, BI dan Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan peran dan tugas
masing-masing.
Sejak tanggal 22
Maret 2006, penjaminan oleh LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 5 Miliar per
nasabah per bank. Nilai simpanan yang dijamin tersebut akan dikurangi secara bertahap
menjadi paling banyak Rp 1 Miliar sejak 22 September 2006 dan paling banyak Rp
100 juta sejak 22 Maret 2007.
Nilai simpanan
yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk
simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok yang
ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan
izin usaha BUS, BPRS atau BUK yang menjadi induk UUS.
Pada dasarnya,
LPS bukanlah asuransi. Program yang dilaksanakan LPS dikenal dengan Deposit Insurance yang pertama kali
digunakan di Amerika Serikat tahun 1933 pada saat mendirikan Federal Deposit Insurance Coorporation (FDIC).
Deposit Insurance atau jaminan
simpanan adalah jaminan yang diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh
penyelenggara penjaminan.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Booklet Perbankan Indonesia
2014,EDISI 1, ISSN : 1858 – 4233
Dewi,Gemala,
Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia
Kasmir,
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2000)
Pasal 2 ayat (3) Undang –Undang
Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Wiwin Sri Haryani, Independensi
Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9 No.3 Oktober
2012 (Diakses pada 16/12/2017)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dijelaskan dalam
Undang-Undang
No. 21 tahun 2011 tentang OJK.
Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan perbankan dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tugas
mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) adalah Lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah, LPS sangat berkepentingan
terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat.
[1]
Wiwin Sri Haryani, Independensi Otoritas Jasa
Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9 No.3 Oktober 2012. hlm. 45-46.
(Diakses pada 16/12/2017)
[2]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2000), hlm.324
[5]
Kasmir, Op.cit, hlm.324
[8]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
[9]
Dewi,Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, hlm.133
[10]
Sutedi,Adrian, Perbankan Syariah Tinjauan
dari Beberapa Segi Hukum,hlm.159-161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar