MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
TENTANG
INSTITUSI
WAKAF
O
L
E
H
HIZRA ISFIO RITA
(
1630401083
)
http://hizraiainbatusangkar.blogspot.co.id/
DOSEN PEMBIMBING :
1. Dr.
H. Syukri Iska, M. Ag.
2. Ifelda
Nengsih, SEI., MA.
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 3B
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di Indonesia telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk
maupun sebelum Islam masuk. Di tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal
pada masa Hindu-Buddha yaitu dengan istilah Sima dan Dharma. Akan tetapi
lembaga tersebut tidak persis sama dengan lembaga wakaf dalam hukum Islam. Dan
peruntukannya hanya pada bidang tanah hutan saja atau berupa tanah saja.
Umumnya, wakaf yang dikenal pada masa sebelum Islam atau oleh agama-agama lain
diluar Islam hampir sama dengan Islam, yaitu untuk peribadatan. Dengan kata
lain lambaga wakaf telah dikenal oleh masyarakat pada peradaban yang cukup jauh
dari masa sekarang. Namun tujuan utama dari wakafnya yang berbeda-beda (untuk
mendapat pahala, hanya untuk masyarakat umum, dll). Sedangkan setelah masuknya
Islam istilah wakaf mulai dikenal. Menurut (Abdoerraoef) wakaf adalah
menyediakan suatu harta benda yang dipergunakan hasilnya untuk kemaslahatan
umat. Sehingga ketika wakaf dikenal di Indonesia juga mempengaruhi pengaturan
perwakafan tanah di Indonesia yang peruntukannya sebagai tempat-tempat
peribadatan dan sosial yang dibuatnya peraturan-peraturan yang lebih khusus
mengenai wakaf di era setelah kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari UU No. 5
Tahun 1960 (UUPA) yang terdapat pada Pasal 49 tentang Hak-hak tanah untuk
keperluan suci dan sosial.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan wakaf?
2. Apa
dasar hukum wakaf?
3. Apa
saja rukun dan syarat wakaf?
4. Jelaskan
bagaimana mekanisme operasional institusi wakaf?
5.
Jelaskan bagaimana perkembangan
institusi wakaf di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
wakaf
Wakaf secara
etimologi adalah al-habs (menahan), al-man’u (mencegah) serta al-imsak (menahan). Dalam bahasa
Inggris, istilah wakaf ini diterjemahkan dengan endowment (pemberian, sedekah, pendapatan), foundation (harta untuk organisasi, pendapatan untuk kegiatan
sosial).
Secara
terminologi, wakaf adalah menahan asal (pokok) barang (harta) dan mendermakan
buah (hasil) atau mendayagunakan manfaatnya untuk sabilillah (Sayyid Sabiq;1971:415). Dengan arti kata, harta
disedekahkan untuk kepentingan sosial, dengan ketentuan yang dapat dinikmati
itu hanya manfaatnya saja tanpa mengurangi dan merusak pokok (asal) barang
tersebut.
Dalam
Undang-Undang nomor 41/2004, wakaf dijelaskan sebagai perbuatan hukum wakif (orang yang mewakafkan) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut
syariah.[1]
B.
Dasar
Hukum Wakaf
1. Al-Qur’an
Sebagaimana
yang terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 267, sebagai berikut:
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari usahamu dan dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu.....”
2. hadis
Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa
sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap
Rasulullah SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW.,
saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik
itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda:
“Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan
(hasilnya). “Kemudian Umar mensadekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak dihibahkandan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta” (HR. Muslim).
Dari hadis
tersebut dapat dipahami beberapa ketentuan tentang wakaf ini, sebagai berikut:
a. kondisi
harta tersebut adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan punya nilai ekonomis.
b. Asal
harta tersebut tetap bertahan, yang dimanfaatkan itu hanyalah hasil dari harta
tersebut.
c. Tidak
boleh diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan.
d. Yang
boleh menikmati hasil dari harta tersebut, diantaranya adalah fakir miskin,
pembiayaan kegiatan sosial, nazir (yang mengelola).[2]
C.
Rukun
dan Syarat Wakaf
1. Rukun
wakaf adalah sebagai berikut:
a. Orang
yang berwakaf (wakif)
b. Harta
yang diwakafkan (mauquf)
c. Tujuan
wakaf (mauquf ‘alaih)
d. Pernyataan
wakaf (shiqat waqf)
2. Syarat
wakaf
a. Orang
yang mewakafkan (wakif)
Ialah mempunyai kecakapan melakukan tabarru’ yaitu melepaskan hak milik
tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru’ adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
b. Harta
yang diwakafkan
Harta wakaf (mauquf)
merupakan harta yang bernilai, milik
yang mewakafkan, dan tahan untuk digunakan. Harta yang dapat juga berupa uang
yang dimodalkan, berupa saham pada perusahaan, dan berupak apa saja yang
lainnya.
c. Tujuan
wakaf
Tujuan wakaf (mauquf
‘alaih) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan nilai-nilai ibadah, sebab
wakaf merupakan salah satu amalan sedekah, sedangkan sedekah merupakan salah
satu perbuatan ibadah. Maka tujuan wakaf harus termasuk kategori ibadah atau
sekurang-kurangnya merupakan perkara-perkara mudah menurut ajaran Islam. Harta
yang diwakafkan harus segera dapat diterima setelah diikrarkan.
d. Shiqat waqf
Bahwa wakaf di-sighat-kan,
baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat. Wakaf dipandang telah
terjadi apabila ada pernyataan wakif
(ijab) dan qabul dari mauquf tidaklah diperlukan. Isyarat
hanya boleh dilakukan bagi wakif yang
tidak mampu melakukan dengan lisan dan tulisan.
D.
Mekanisme
operasional institusi wakaf
1.
Kelembagaan
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus
mengelola dana wakaf tunai dan beroprasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Kelahiran BWI merupakan perwujudan amanat-amanat yang
diwariskan dalam undang undang No 41 tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran badan
wakaf Indonesia sebagaimana di jelaskan dalam pasal 47 adalah memajukan dan
mengembangkan perwakafan di Indonesia untuk pertama kalinya, keanggotaan BWI
diangkat oleh presiden Republic Indonesia, sesuai dengan kepusan presiden nomor
75 /M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal13 juli 2007. jadi BWI
adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang
dalam melaksanakn tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun serta
bertangggung jawab kepada massyarakat.[3]
Sementara sesuai dengan UU No 41/2004 pasal 49 ayat 1
disebutkan , BWI Mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Melakukan pembinaan kepada nazhir
dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
b. Melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
c. Memberikan persetujuan atau izin
atas perubahan peruntukan da status harta benda wakaf.
d. Memberhentikan dan mengganti Nazhir.
e. Memberikan persetujuan dan atas
penukaran harta benda wakaf.
f.
Memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan.
Pada ayat 2 dalam pasal yang sama di jelaskan bahwa dalam melaksanakan
tugas BWI dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah pusat maupun daerah.
Organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang di
anggap berhak. Terkait tugas dalam membina Nazhir, BWI melakukan beberapa
strategis sebagaimana disebutkan dalam PP. No 4/2006 pasal 63, meliputi:
1) Penyiapan sarana dan prasarana
penunjang operasioanal Nazhir wakaf baik perorangan , organisasi badan hukum.
2) Penyusunan regulasi,pemberian
motivasi, pemberian fasilitas, pengoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan
terhadap masyarakat.
3) Penyediaan fasilitas proses
sertifikasi wakaf.
4) Penyiapan dan pengadan blangko
blangko AIW baik wakaf benda tidak bergerak.
5) Penyiapann penyuluh penerangan di
daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan kepada Nazhir sesuai dengan
lingkupnya.
6) Pemberian fasilitas masuknya dana
dana wakaf daru dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan
wakaf.[4]
E.
Perkembangan
institusi wakaf di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan
selalu berkembang bersamaan dengan laju perkembangan zaman dengan berbagai
inovasi inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf hak
ke atas kekayaan intelektual (haki),
dan lain-lain. Di Indonesia sendiri saat ini
wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan di terbitkannya undang
undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaanya.
Belakangan, wakaf mengalami
perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu terutama dalam
pengelolaan wakaf yang ditunjukan sebagai instrumen mensejahtrakan masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bisnis dan
manajemen. Konteks ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif.[5]
Perkembangan institusi wakaf di Indonesia, sebagai berikut:
1.
Pada
zaman hindia belanda
Pada waktu pemerintahan hindia belanda hukum pwakafan telah
berlaku di Indonesia berdassarkan hukum islam. Administrasi perwakafan tanah
baru di mulai sejak tahun 1905 dengan di mulainya pendaftaran tanah wakaf
berdasarkan surat edaran sebagai berikut :
a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen
tanggal 19 januari 1905 yang mewajibbkan
para bupati untuk membuat daftar yang memuat segala keterangan untuk semua benda
yang bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan
nama wakaf atau dengan nama lain.
b. Surat Edaran Gubernemen tanggal 4
april tahun 1931, yang memberikan wewenang kepada bupati untuk memeimpin dan
menyelesaikan perkara jika terjadi sengketa mengenai wakaf, atas permintaan
para pihak yang bersengketa.
c. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen
tanggal 27 mei tahun 1935, berisi tata cara perwakafan, yaitu perlunya
perwakafan diketahuai oleh bupati untuk di registrasi dan di teliti keabsahannya.
2.
Pada
zaman kemerdekaan
Setelah kemerdekaan republic indonesiatanggal 17 agustus
1945 maka di bentuklah undang undang pokok agraria tanggal 24 september 1960
yang mengandung ketentuan sebagai berikut:
a. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan
Undang-Undang Dasar 145, peraturan-peraturan perwakafan Hindia Blanda
dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1958 telah ditetapkan petunjuk-petunjuk
mengenai perwakafan oleh departemen Agama dengan dikeluarkannya surat edaran
No. 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah pada tanggal 8 Oktober 1956.
b. Berdasarkan surat keputusan Mentri
Agraria dan Mentri Agama No. 19. 19/22/37-7 tahun 1959 dan SK. 62/Ka/1959,
ditetapkanlah pengesahan perwakafan tanah milik dialihkan kepada Kepala
Pengawas Agraria Kepresidenan, yang pelaksanaannya diatur dengan suratpusat
Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13-2-1960 No.23/1/34-11.
c. Di dalam Undang-Undang No.5
tahun1960 (UUPA), pada bagian XI, tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial
(pasal 49 ayat 3) ditentukan perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
d.
Pada
tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang
perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat 3 UUPA. PP
No. 28 tahun 1977 mengatur tata cara perwakafan tanah milik dalam pengertian
hak milik yang baru, serta tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi
sebelum Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 yang jumlahnya sangat besar
dibanding dengan perwakafan setelah berlakunya PP No. 28/1977. Pada tahun 1992
telah terdapat wakaf di Indonesia, yaitu di aceh ,gayo, tapanoli, jambi,
Palembang Bengkulu, dan minahasa . Nama dan benda yang di wakafkan berbeda
beda, di aceh disebut wakeuh, dan di gorontalo disebut wokos, di payakumbuh
disebut ibah.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wakaf secara
etimologi adalah al-habs (menahan), al-man’u (mencegah) serta al-imsak (menahan). Dalam bahasa
Inggris, istilah wakaf ini diterjemahkan dengan endowment (pemberian, sedekah, pendapatan), foundation (harta untuk organisasi, pendapatan untuk kegiatan
sosial). Secara terminologi, wakaf adalah menahan asal (pokok) barang (harta)
dan mendermakan buah (hasil) atau mendayagunakan manfaatnya untuk sabilillah.
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus
mengelola dana wakaf tunai dan beroprasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Kelahiran BWI merupakan perwujudan amanat-amanat yang
diwariskan dalam undang undang No 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan
selalu berkembang bersamaan dengan laju perkembangan zaman dengan berbagai
inovasi inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf hak
ke atas kekayaan intelektual (haki),
dan lain-lain. Di Indonesia sendiri saat ini
wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan di terbitkannya undang
undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaanya.
Belakangan, wakaf mengalami
perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu terutama dalam
pengelolaan wakaf yang ditunjukan sebagai instrumen mensejahtrakan masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bisnis dan
manajemen. Konteks ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif.
DAFTAR
PUSTAKA
Drektorat Pemberdayaan Wakaf & Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di
Indonesia, 2007
File:///C:/Users/USER/Downloads/Lembaga_Keuangan_Syariah_Non_Bank_WAKAF.pdf
diakses pada 11 Desember 2017
Iska,Syukri dan
Rizal, Lembaga Keuangan Syariah, (Batusangkar:STAIN Batusangkar
Press,2005)
Soemitra,Andri, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Kencana,2010)
Sudarsono,Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah:Deskripsi
dan lustrasi,(Yogyakarta:Ekonisia,2003)
[1]
Iska,Syukri dan Rizal, Lembaga Keuangan Syariah, (Batusangkar:STAIN
Batusangkar Press,2005).hlm.104-106
[2]
Ibid,......hlm.106-107
[3]
Drektorat Pemberdayaan Wakaf &
Departemen Agama RI, Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, 2007. hlm 31.
[4]
file:///C:/Users/USER/Downloads/Lembaga_Keuangan_Syariah_Non_Bank_WAKAF.pdf
diakses pada 11 Desember 2017
[6]
Sudarsono,Heri, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah:Deskripsi dan lustrasi,(Yogyakarta:Ekonisia,2003).hlm.262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar